Ketum LDII: Pancasila Membawa Pesan Islam yang Inklusif
Jakarta (1/6/2021). Keberagaman suku, ras, dan agama di Indonesia menjadi keelokan tersendiri berkat adanya Pancasila. Meskipun Islam menjadi agama mayoritas, namun penganut agama lainnya dapat menjalankan ibadah dengan bebas di Indonesia.
“Hari lahir Pancasila menjadi momen untuk mengenang jasa para pendiri bangsa. Atas jasa mereka, bangsa Indonesia bisa menjalankan hak asasi yang esensial yakni memeluk agama atau keyakinan dan menjalankan ibadah,” ujar KH Chriswanto Santoso.
Menurut KH Chriswanto, Pancasila yang inklusif sejalan dengan nilai-nilai Islam. Inklusivitas Pancasila membuat penganut semua agama di Indonesia nyaman dan tentram beribadah, bahkan umat Islam yang mayoritas pun turut melindungi keberagaman agama di Indonesia.
“Pancasila dan Islam itu beriringan. Bahkan, nilai-nilai Islam terdapat dari sila pertama hingga kelima. Meskipun terjadi perdebatan sengit mengenai Piagam Jakarta dan terjadi kompromi dengan mengubahnya menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, hal tersebut justru membuka ruang Islam yang inklusif,” ujarnya.
KH Chriswanto menyitir Bung Karno, sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan wujud memeluk agama yang dilandasi gotong royong. “Di dalam gotong-royong, terdapat sikap saling menghormati, menghargai, toleransi, semangat membantu, tanpa meninggalkan jati diri sebagai umat Islam atau pemeluk agama tertentu,” imbuhnya.
KH Criswanto mendorong umat Islam yang inklusif. “Atas dasar prinsip Pancasila yang menjadi asas organisasi kami, dan Islam yang rahmatal lil alamin, kami mendorong warga LDII dan umat Islam umumnya untuk toleran, terbuka, saling menghargai dan menghormati tanpa meninggalkan keyakinannya,” tuturnya.
Di mata KH Chriswanto, Pancasila sebagai ideologi yang inklusif, menekankan penghormatan terhadap keberagaman yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia. “Dalam kondisi bangsa yang hidup di negeri yang bukan negara berdasarkan agama ataupun sekuler, justru kehidupan beragama menjadi indah. Penuh toleransi, yang memungkinkan semua umat beragama berkontribusi dalam pembangunan,” imbuhnya.
Radikalisme, pada akhirnya tidak mendapat ruang di Indonesia, begitu pengingat dari KH Chriswanto Santoso. “Menganggap paling benar sendiri, hanya menciptakan golongan atau kelompok yang radikal. Hal ini tak sesuai dengan prinsip-prinsip Pancasila,” imbuhnya. Untuk itu, ia mengingatkan para tokoh agama atau sekelompok orang untuk tidak memaksakan agama atau keyakinan, karena bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Ia mengingatkan, sebagai negara demokrasi yang mayoritas penduduknya umat Islam, Indonesia menjadi teladan bagi negara-negara lain. “Di Indonesia, mayoritas melindungi minoritas. Pancasila yang menjadi dasar negara, memastikan agar tidak terjadi penindasan terhadap minoritas,” pungkasnya.
KH Chriswanto mengatakan, pesan-pesan Islam yang inklusif diwakili bahkan digemakan dengan kuat oleh Pancasila. Kelahiran Pancasila merupakan cermin kebesaran hati para tokoh-tokoh Islam saat itu. “Meskipun umat Islam berjuang memerdekakan Indonesia, tokoh-tokoh agama yang lain tak kalah besar jasanya untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Sehingga Pancasila menjadi cermin elok kebesaran jiwa para pendiri bangsa,” imbuhnya.
Selaras dengan KH Criswanto, Ketua DPW LDII Provinsi Jawa Barat, H. Dicky Harun menambahkan, keberagaman agama menjadi salah satu kekayaan negara Indonesia. Disamping keberagaman lainnya seperti keberagaman suku, adat istiadat, bahasa, dan lainnya. Namun keberagaman itu menjadi satu kesatuan diikat dengan Pancasila.
“Toleransi antar umat beragama harus tetap dijaga dan dipelihara. Jangan sampai ada yang merasa agamanya yang paling benar. Ini berkorelasi dengan kewajiban bagi setiap warga negara untuk menjaga keutuhan NKRI,” pungkasnya. (fadel)