NasionalNews

LDII Ingatkan Liberalisme dan Fundamentalisme Berpotensi Runtuhkan Pancasila

Jakarta (1/10/2021). Hari Kesaktian Pancasila yang diperingati setiap 1 Oktober, merupakan pengingat bahaya komunisme yang melakukan kudeta pada 30 September 1965. Saat itu, Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam gerakan itu menculik tujuh jenderal dan beberapa lainnya. Gerakan itu berkeinginan mengganti ideologi Pancasila dengan komunisme.

Namun bukan hanya ideologi komunisme saja yang berpotensi meruntuhkan ideologi Pancasila. Belakangan ini ideologi fundamentalisme yang berbasis agama tertentu dan idelogi liberalisme juga membahayakan dan berpotensi meruntuhkan ideologi Pancasila.

“Peristiwa tersebut tercatat sebagai sejarah kelam Indonesia modern. Komunisme memang tak tampak lagi, namun sebagai ideologi, ia tak kasat mata. Jadi, bangsa ini harus terus waspada,” ujar Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso.

Chriswanto juga mengingatkan, bukan hanya komunisme, namun liberalisme dan gerakan fundamentalisme berbasis agama tertentu, bisa membahayakan ideologi negara tersebut. “Akibatnya, Pancasila memang masih jadi dasar negara, namun perilaku pejabat publik dan rakyatnya tak lagi Pancasilais,” khawatirnya.

Chriswanto menambahkan, ia dan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj beberapa waktu lalu bertemu dan sepakat membendung pengaruh liberalisme dan fundamentalisme di lingkungan ormas masing-masing. “Ormas-ormas Islam berhadapan dengan dua kutub persoalan, yakni liberalisme yang diantaranya mendorong kebebasan individu, sementara di sisi lain terdapat fundamentalisme yang membuat seseorang tidak toleran terhadap perbedaan,” ujarnya.

Liberalisme menurut KH Chriswanto Santoso pada banyak hal, memiliki kandungan positif. Seperti mendorong seseorang untuk memperoleh haknya dalam kesejahteraan dengan berkompetisi. Namun, bila tak diatur, liberalisme sangat memungkinkan yang kuat akan menggusur yang lemah dalam berbisnis. Selain itu, liberalisme mendorong sifat seperti konsumerisme, yang bila tak dikendalikan berbuah pemborosan dan melakukan segala cara untuk meraih barang yang diinginkan.

“Artinya, komunisme, liberalisme, sosialisme, dan fundamentalisme bukanlah ideologi asli suku-suku di Indonesia. Ideologi-ideologi itu diimpor. Disinilah Pancasila dan rakyat Indonesia diuji,” imbuhnya. Bila liberalisme membuat seseorang tak peduli sehingga semangat gotong-royong meluntur. Sementara fundamentalisme mendorong lunturnya sikap toleransi, menghargai, dan menghormati keyakinan lain. Akibatnya, kedamaian dan ketenteraman bisa terusik.

Ia mengingatkan kembali peran ormas Islam untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan dan karakter bangsa, sebagaimana yang terdapat dalam butir-butir Pancasila. “Pancasila digagas para pendiri bangsa sebagai kompromi, jalan tengah, dan mengambil intisari dari berbagai ideologi. Bahkan, nilai-nilai luhur bangsa Indonesia terhimpun di dalamnya. Inilah yang membuat bangsa Indonesia terus bersatu,” ujar Chriswanto.

Memperkokoh Kesaktian Pancasila

Pancasila dapat terus dikuatkan, bilamana ideologi tertentu tidak menggantikan Pancasila. Menurut Ketua DPP LDII Singgih Tri Sulistiyono yang juga Guru Besar Sejarah Universitas Diponegoro (Undip), Pancasila jangan sampai berhenti pada tataran verbal, tetapi juga diamalkan.

“Dalam kontruksi keindonesiaan, yang pertama adalah bahwa sila pertama dari Pancasila harus menjadi pondasi sekaligus mewarnai sila-sila yang lain. LDII juga berpendapat sila pertama tidak dijadikan bingkai, tetapi sebagai pondasi,” ujarnya.

Menempatkan sila pertama Pancasila sebagai bingkai atau wadah, sangat berisiko mendorong pihak-pihak yang memiliki ideologi tertentu, mengubah ideologi negara. Hal tersebut, bisa menjadi bibit konflik yang berkepanjangan karena kondisi bangsa dan negara yang plural, baik dari sisi agama maupun kepercayaan. “Maka agama harus ditempatkan sebagai fundamen bukan wadah,” ujar Singgih.

Kedua, Singgih melanjutkan, dengan memahami sifat dan jiwa yang tergali dalam sejarah lahirnya Pancasila yang patut untuk menjadi bingkai dari konstruksi keindonesiaan adalah sila Persatuan Indonesia. “Rumusannya adalah apapun agama yang dipeluk (sesuai Sila Pertama), apapun aktualisasi kemanusiaan yang dilakukan (Sila kedua), bentuk demokrasi apapun yang dijalankan (Sila keempat) dan model keadilan yang dibayangkan (Sila kelima) tetap dalam bingkai persatuan Indonesia atau NKRI (Sila ketiga),” ulasnya.

Singgih menyimpulkan, pemikiran-pemikiran memperkokoh Pancasila yakni sila pertama sebagai pondasi, sila ketiga sebagai bingkai, sila kelima sebagai tujuan, sila kedua sebagai aspek kemanusiaan, dan sila keempat mengenai demokrasi sebagai semangat dan cara mencapai tujuan berbangsa dan bernegara. Kelima sila tersebut tidak bisa dibeda-bedakan, bahkan saling melengkapi.

Bila dikristalisasi, menurut Singgih, bangsa Indonesia tanpa Pancasila akan rapuh. Mengapa? Karena tidak punya pondasi religiusitas yang kuat sebagaimana sila pertama, dan bangsa Indonesia bercerai-berai karena tidak ada bingkai yang jelas seperti sila ketiga. Bangsa Indonesia juga kehilangan arah karena tidak punya tujuan yang jelas, sesuai sila kelima.

Bahkan tanpa Pancasila, bangsa Indonesia menjadi bangsa yang tidak beradab, karena tidak punya kemanusiaan, tidak memiliki gotong-royong, karena tidak ada sila kedua dan keempat.

Sementara itu, Ketua DPW LDII Provinsi Jawa Barat, KH. Dicky Harun menambahkan, ideologi Pancasila bisa menyatukan seluruh elemen rakyat, bangsa, dan negara yang sangat majemuk. Dengan banyaknya suku, adat istiadat, kebudayaan, dan agama di Indonesia, maka keberadaan Pancasila bisa menjembatani dan mempersatukannya.

“Pancasila mengandung nilai-nilai luhur bangsa ynag harus tetap dijaga, dilaksanakan, dan dilestarikan. Merupakan nilai-nilai asli bangsa Indonesia. Jangan sampai bangsa Indonesia terpecah belah karena mengedepankan nilai-nilai yang bukan berasal dari nilai-nilai asli bangsa Indonesia. Cukup sudah penjajahan Belanda dan Jepang menjadi pelajaran penting bagi bangs akita,” pungkasnya. (*, fadel)